Opini: RUU TNI dan Ironi Politik Gentong Babi
Oleh: Hafizh Saputra, Ketua 1 Forum OSIS Samarinda
RUU TNI kembali mencuat ke permukaan, bukan hanya karena substansinya yang kontroversial, tetapi juga karena munculnya aksi-aksi dukungan yang justru membangkitkan kecurigaan publik. Fenomena ini bukan sekadar dinamika demokrasi, melainkan cerminan dari politik yang mulai kehilangan moral dasarnya: kejujuran pada rakyat.
Aksi tandingan terhadap penolakan RUU TNI yang disebut-sebut disokong oleh pemberian uang tunai kepada massa merupakan bentuk eksploitasi terang-terangan terhadap masyarakat. Iming-iming Rp50.000 menjadi bukti betapa murahnya nilai dukungan politik di mata para pemangku kebijakan. Ini bukan lagi partisipasi, tetapi transaksi. Demokrasi yang dibangun di atas kesadaran kini digantikan oleh demokrasi yang dibeli secara eceran.

Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, “Tidak perlu sepintar jurnalis Tempo, cukup pada taraf asbun seperti jubir-jubir Prabowo saja. Dengan melihat sekilas, kita sudah dapat mengetahui bahwa ini adalah agenda yang ditunggangi.” Ini bukan pernyataan emosional, melainkan respons terhadap absurditas yang begitu telanjang di depan mata publik.
Pemerintah seakan ingin menunjukkan bahwa RUU TNI mendapat legitimasi publik, padahal dukungan itu diproduksi, bukan tumbuh dari aspirasi yang otentik. Di balik kemasan “aksi damai”, terdapat upaya sistematis menciptakan ilusi konsensus, padahal substansinya adalah manipulasi.
Apa yang tengah terjadi adalah contoh klasik dari politik gentong babi—praktik yang menjebak masyarakat dalam ketergantungan, membuat mereka mendukung kebijakan yang sejatinya merugikan. Masyarakat yang dimiskinkan secara struktural, kini disandera oleh amplop-amplop kecil berisi harapan palsu.
Lebih dari itu, RUU TNI membawa risiko nyata terhadap masa depan demokrasi kita. Dengan membuka ruang yang lebih besar bagi militer untuk masuk ke ranah sipil, kita sedang membuka pintu bagi pemusatan kekuasaan yang berbahaya. Di balik jargon “ketahanan negara” tersembunyi agenda untuk memperluas dominasi dan mempersempit ruang partisipasi sipil.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, kita akan melihat demokrasi direduksi menjadi pertunjukan sandiwara. Rakyat tidak lagi menjadi subjek, melainkan objek dari narasi yang dibentuk kekuasaan. Dan di tengah situasi ini, kesadaran kritis menjadi satu-satunya senjata yang tersisa.
Masyarakat harus sadar bahwa uang yang diterima hari ini bisa berbalik menjadi alat penindasan esok hari. Kita harus kembali pada prinsip bahwa setiap kebijakan publik harus didorong oleh kebutuhan rakyat, bukan kepentingan elite. Dan demokrasi sejati hanya bisa bertahan jika rakyat menolak menjadi alat dalam permainan kekuasaan.
Leave a Reply