Temankita.com, Gaza, Palestina — Ketegangan politik dan kecaman internasional terhadap rencana Israel membangun “kota kemanusiaan” di Gaza Selatan semakin meningkat. Dua politisi senior Israel, mantan Perdana Menteri Yair Lapid dan Ehud Olmert, secara terbuka mengkritik kebijakan ini dan menyamakan proyek tersebut dengan pendirian “kamp konsentrasi” bagi warga Palestina.
Kritikan Tajam dari Tokoh Politik Israel
Mengutip laporan Al Jazeera pada Senin (14/7/2025), Yair Lapid—pemimpin oposisi utama Israel—menyebut bahwa pembangunan “kota kemanusiaan” di atas reruntuhan kota Rafah adalah keputusan yang “buruk dari segala aspek”.
“Saya tidak suka menyebutnya kamp konsentrasi, tapi jika warga dilarang keluar dari sana, maka itu memang kamp konsentrasi,” ujar Lapid dalam wawancaranya dengan Radio Angkatan Darat Israel.
Sementara itu, Ehud Olmert, yang menjabat sebagai PM Israel pada 2006–2009, menyatakan secara gamblang bahwa rencana tersebut tidak lain adalah bagian dari praktik pembersihan etnis.
“Jika mereka akan dideportasi ke ‘kota kemanusiaan’, maka itu adalah pembersihan etnis,” tegas Olmert. Ia menambahkan bahwa strategi tersebut tampaknya bertujuan bukan untuk menyelamatkan warga Palestina, melainkan untuk “membuang mereka”.
Rencana Pemindahan Massal Warga Palestina
Pemerintah Israel mengklaim bahwa “kota kemanusiaan” akan menjadi tempat tinggal sementara bagi sekitar 600.000 warga Palestina yang saat ini tinggal di tenda-tenda darurat di daerah Al Mawasi. Namun, dokumen internal dan pernyataan pejabat menyebut bahwa tujuan akhir proyek ini adalah memindahkan seluruh populasi Gaza yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa.
Citra satelit menunjukkan adanya peningkatan penghancuran bangunan di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Dari 15.800 bangunan hancur pada April 2025, jumlahnya melonjak menjadi 28.600 pada Juli 2025.
Kekhawatiran Internasional: “Nakba Kedua”?
Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA lembaga PBB untuk pengungsi Palestina menyuarakan kekhawatirannya atas proyek tersebut. Ia mempertanyakan apakah ini adalah “Nakba kedua”, mengacu pada tragedi pengusiran massal warga Palestina pada 1948.
“Ini secara de facto akan menciptakan kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan Mesir,” ujarnya. “Hal ini menghilangkan masa depan bagi Palestina di tanah air mereka sendiri.”
Israel dan AS Dituding Mendukung Deportasi Paksa
Meskipun pemerintah Israel mengeklaim pemindahan ini bersifat “sukarela”, pertemuan PM Benjamin Netanyahu dan Presiden AS Donald Trump pekan lalu memperlihatkan upaya keras mencari negara-negara yang bersedia menerima eksodus warga Gaza.
Trump menyebut kerja sama dengan negara-negara kawasan “berjalan baik”, meski berbagai negara Arab justru telah menolak secara tegas rencana tersebut. Warga Palestina sendiri mengecam keras proyek ini, menilainya sebagai bentuk kolonisasi baru yang akan menghapus eksistensi mereka dari tanah kelahiran.
Leave a Reply