Kaltim Terancam Krisis Fiskal 2026, DBH Dipangkas hingga 76 Persen: Daerah Teriak Ketidakadilan

Temankita.com, Samarinda – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menghadapi ancaman tekanan fiskal berat pada 2026 jika pemerintah pusat benar-benar memangkas Transfer ke Daerah (TKD). Pemotongan terbesar bersumber dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU).

Berdasarkan data yang ada, DBH Pemprov Kaltim 2026 hanya diproyeksikan Rp1,42 triliun, anjlok Rp4,64 triliun dari alokasi 2025 sebesar Rp6,06 triliun. Di tingkat kabupaten/kota, penurunan bahkan mencapai 76,54 persen.

  • Samarinda: Rp262,43 miliar (turun dari Rp1,11 triliun)
  • Balikpapan: Rp233,81 miliar
  • Bontang: Rp290,78 miliar
  • Kukar: Rp1,34 triliun (turun Rp4,40 triliun)

Tak hanya DBH, DAU juga ikut dipangkas. DAU provinsi diperkirakan Rp894,50 miliar (turun 16,31% dari Rp1,06 triliun). Semua kabupaten/kota mengalami penurunan serupa, misalnya Samarinda dari Rp925,36 miliar menjadi Rp776,14 miliar, Balikpapan Rp651,80 miliar menjadi Rp545,51 miliar, dan Kukar dari Rp633,02 miliar turun menjadi Rp529,80 miliar.

Pusat Dituding Langgar UU HKPD

Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud mengaku sudah mengimbau kepala daerah untuk bersiap menghadapi tekanan fiskal. Ia juga menyatakan tengah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar kebijakan pemangkasan dibatalkan.

Protes keras datang dari Wali Kota Bontang Neni Moerniaeni. Menurutnya, langkah sepihak pusat jelas melanggar UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) Nomor 1/2022.

“DBH pada prinsipnya adalah hak daerah karena dihitung dari persentase penerimaan negara tertentu. Pemotongan sepihak jelas dilarang,” tegas Neni.

Ia menambahkan, penyesuaian hanya bisa dilakukan bila realisasi penerimaan negara lebih rendah dari target APBN, atau dalam bentuk penundaan penyaluran, bukan pemangkasan hak daerah.

DPD RI dan Akademisi Ikut Menyuarakan

Ketua Komite I DPD RI Andi Sofyan Hasdam juga meminta pemerintah pusat membatalkan rencana pengurangan dana transfer. Ia menilai mekanisme pengalihan dana ke kementerian berpotensi menciptakan ketidakadilan.

“Yang mengetahui kondisi daerah itu kepala daerah. Kalau dialihkan ke kementerian, tidak semua daerah mendapat porsi yang sama,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman Purwadi memperingatkan potensi turbulensi fiskal yang bisa memicu komplikasi ekonomi. Ia mendorong Pemda agar lebih proaktif mencari sumber pendapatan lain dan mengurangi pemborosan.

“Jangan hanya mengurangi janji politik, tapi bagaimana anggaran yang terbatas bisa dihemat,” katanya, menyinggung program pendidikan dan kesehatan gratis yang dijanjikan pasangan Gubernur Rudy–Seno.(Ar)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *