Advertisement

Akademisi Unmul Soroti Krisis Energi, Inflasi, hingga Ketimpangan Fiskal: “DBH ADALAH HAK BUKAN PEMBERIAN”

TemanKita.com, Jakarta — Suasana audiensi di DPR RI mendadak memanas ketika Akademisi Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, membeberkan satu per satu persoalan yang kini mencengkeram kehidupan masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim). Dalam forum penolakan rencana pemangkasan Dana Bagi Hasil (DBH) itu, Purwadi menyampaikan data yang terdengar seperti ironi besar: daerah penghasil energi justru mengalami krisis energi, inflasi meroket, kesenjangan fiskal melebar, dan infrastruktur dasar di pedalaman masih jauh dari kata layak.

Ia menegaskan dengan nada getir, “Rencana pemangkasan DBH ini bukan hanya tidak rasional. Ini tidak berperasaan.”

Kelangkaan BBM dan LPG: Tragedi di Atas Kekayaan Energi

Purwadi menyebut kelangkaan BBM telah berlangsung 15–17 tahun—masalah kronis yang tak kunjung selesai di daerah penghasil migas. Premium sudah lama hilang dari pasaran, sementara solar, pertamax, dan pertalite makin sulit didapat.

Antrean kendaraan mengular berjam-jam, bahkan banyak warga rela menginap demi mendapatkan BBM. Fenomena ini paling parah terjadi di Balikpapan dan Samarinda, dua kota yang ironisnya dikenal sebagai “kota minyak.”

“Bayangkan, kota minyak, tapi rakyatnya harus antre semalaman hanya untuk mendapatkan BBM. Ini ironi nasional.”

Menurut Purwadi, ada tiga akar masalah:

  1. Distribusi yang buruk
  2. Ketidaksesuaian spesifikasi BBM
  3. Infrastruktur logistik yang rapuh

Kelangkaan LPG 3 kg juga semakin parah, terutama di kawasan lingkar IKN. Dampaknya brutal: inflasi melonjak dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Inflasi, Krisis Domestik, dan Beban Hidup yang Mencekik

Krisis energi secara langsung memukul ekonomi rumah tangga. Harga kebutuhan pokok naik, logistik tersendat, dan biaya hidup merangkak tak terkendali.

Purwadi mengatakan akar masalah berputar pada satu kata: ketidakadilan fiskal.

Ia menggambarkan kondisi ekstrem di Mahakam Ulu (Mahulu)—sebuah potret yang seharusnya mengusik nurani bangsa:

  • Banjir hingga 4 meter
  • Harga beras mencapai Rp1 juta per karung
  • LPG 3 kg tembus Rp400 ribu
  • Listrik hanya hidup jam 18.00–24.00 WITA
  • Banyak dinas belum terbentuk karena kekurangan anggaran
  • Dinas Tenaga Kerja bahkan tidak ada

“Negara ini seharusnya mengayomi seluruh masyarakat. Tetapi daerah kami justru terseok-seok karena minim fiskal,” tegasnya.

Pemangkasan DBH: “Tidak Masuk Akal, Tidak Adil, dan Tidak Peka

Purwadi mempertanyakan bagaimana mungkin pemerintah pusat berencana memangkas DBH saat Kaltim justru memberikan kontribusi ekonomi raksasa.

Ia mengungkapkan, sekitar 200 tongkang mengangkut sumber daya alam keluar dari Kaltim setiap hari.

“Kontribusinya Rp2,1 triliun per hari. Tapi DBH mau dipangkas? Ini hak, bukan hadiah,” serunya.

Purwadi menyebut estimasi pemangkasan DBH mencapai Rp800–1.000 triliun per tahun—angka yang sangat tidak sebanding dengan besarnya wilayah Kaltim dan tuntutan pembangunan di dalamnya.

Ia juga menyindir mekanisme pembangunan yang hanya menjadikan daerah sebagai penonton:

“Daerah mengajukan proposal, BUMN yang mengerjakan, dana dari pusat. Uang masuk kantong kanan, keluar kantong kiri. Daerah cuma kebagian cuci piring.”

Ekstraktivisme Menggila, Lingkungan Kian Sakit

Purwadi memperingatkan bahwa kebijakan pusat yang mempercepat ekstraktivisme hanya akan mempercepat kerusakan lingkungan Kaltim.

Data yang ia paparkan menggambarkan situasi mengerikan:

  • 5,3 juta hektare wilayah konsesi tambang
  • Ribuan lubang tambang terbengkalai
  • 54 korban jiwa akibat lubang tambang (2002–2025)
  • 168 titik tambang ilegal di 3 kota dan 5 kabupaten
  • Krisis air bersih dan kerusakan ekosistem
  • Banjir dan longsor semakin rutin

Ia juga menyebut UU Minerba No. 2/2025 sebagai regulasi yang “tidak berpihak pada rakyat” karena memperpanjang dominasi industri batu bara di tengah narasi transisi energi.

Kontribusi Ekonomi Kaltim: Jantung yang Terus Diperas

Purwadi menjelaskan bahwa kontribusi ekonomi Kaltim mencapai Rp800–1.000 triliun per tahun, dengan rincian:

  • Minerba: Rp500–550 triliun
  • Migas: Rp250–300 triliun
  • Kehutanan: Rp6–7 triliun
  • CPO: Rp10–15 triliun

“Dengan kontribusi sebesar ini, sangat tidak adil jika Kaltim justru mendapat porsi fiskal yang mengecil.”

Tuntutan Tegas: “Kembalikan DBH! Jangan Dagang Nasib Rakyat Kaltim!”

Persoalan ditutup dengan seruan lantang:

“DBH adalah hak Kaltim. Kembalikan porsi awalnya, jangan dipangkas. NKRI harga mati, tapi negara harus hadir—bukan hanya mengambil sumber daya, tetapi menyejahterakan rakyatnya.”

Purwadi mengingatkan, jangan sampai Kaltim hanya menjadi “penonton dan pencuci piring” di tengah megahnya pembangunan nasional.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *