Advertisement

BTT Kaltim Dipangkas Tajam, Efisiensi Anggaran Dinilai Salah Sasaran

TemanKita.com, Samarinda — Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) dipastikan anjlok tajam pada tahun anggaran 2026. Dari sebelumnya Rp109,3 miliar pada 2025, alokasi BTT kini hanya Rp33,93 miliar, atau berkurang sekitar Rp69,1 miliar.

Penurunan ini terjadi seiring dengan menyusutnya kemampuan fiskal daerah akibat pengurangan dana transfer dari pemerintah pusat. Total APBD Kaltim 2026 pun terkoreksi signifikan, dari proyeksi awal Rp21,35 triliun menjadi hanya Rp15,15 triliun, atau turun sekitar Rp6,49 triliun.

Sekretaris Daerah Pemprov Kaltim, Sri Wahyuni, membenarkan kondisi tersebut. Ia menjelaskan, alokasi BTT sebelumnya dirancang lebih besar dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), namun harus disesuaikan setelah kepastian fiskal daerah berubah.

“Awalnya BTT direncanakan Rp70,21 miliar, dengan asumsi APBD Rp21,35 triliun. Setelah dana transfer berkurang, alokasinya juga kami sesuaikan. Belanja wajib tetap kami penuhi,” ujar Sri Wahyuni, Kamis (11/12/2025).

Meski anggaran menyusut drastis, Pemprov Kaltim mengklaim alokasi tersebut masih mencukupi untuk penanganan bencana. Sri mencontohkan, BTT tahun ini bahkan dapat digunakan untuk membantu bencana alam di luar daerah. Pemprov Kaltim mengirim bantuan Rp7,5 miliar ke Sumatra, masing-masing Rp2,5 miliar untuk Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. Sementara untuk banjir di Kutai Timur dan Berau, masing-masing kabupaten menerima Rp1 miliar.

Namun, keyakinan pemerintah itu menuai kritik keras dari kalangan akademisi.

Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman, Purwadi Purwoharsojo, menilai penurunan tajam BTT menunjukkan arah efisiensi anggaran yang tidak sensitif terhadap risiko publik, terutama di tengah meningkatnya ancaman bencana hidrometeorologi di Kalimantan Timur.

Menurutnya, anggaran kebencanaan merupakan hajat publik yang seharusnya memiliki porsi tetap dalam struktur APBD, bukan menjadi variabel penyesuaian setiap kali fiskal daerah tertekan.

“Dana bencana itu bukan pilihan. Dalam manajemen bisnis saja, biaya tak terduga dialokasikan sampai 10 persen. Riset FITRA menyebut idealnya 1,5 sampai 5 persen dari anggaran. Tapi BTT Kaltim 2026 hanya sekitar 0,22 persen dari APBD. Ini sangat kecil,” tegas Purwadi.

Ia mengingatkan, bencana alam memiliki efek domino yang luas, mulai dari kerusakan lingkungan, gangguan sosial, hingga perlambatan ekonomi daerah secara keseluruhan. Ia menilai berbahaya jika pemerintah daerah akhirnya menggantungkan penanganan bencana pada donasi publik.

“Solidaritas masyarakat memang baik, tapi rakyat sudah berkontribusi lewat pajak. Jangan sampai saat bencana besar terjadi, pemerintah justru meminta sumbangan,” ujarnya.

Purwadi kemudian menarik persoalan ini ke konteks yang lebih besar. Menurutnya, Kalimantan Timur selama ini terlalu sering diberi julukan besar, namun tidak diiringi keadilan fiskal dan perlindungan ekologis.

“Dulu Kaltim disebut tikus mati di lumbung padi. Di era lain disebut raksasa yang sedang tidur. Masalahnya, ketika raksasa itu bangun dan lapar, makanannya sudah habis. Yang tersisa cuma piring kotor,” sindirnya.

Ia menegaskan, realitas di lapangan menunjukkan kerusakan ekologi yang masif akibat eksploitasi sumber daya alam. Lubang tambang dibiarkan menganga, tanah longsor terus terjadi, dan setidaknya 54 anak meninggal dunia akibat tenggelam di lubang bekas tambang.

Dalam konteks itu, Purwadi menegaskan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) bukanlah hadiah dari pemerintah pusat, melainkan hak daerah atas sumber daya alam yang dikeruk selama puluhan tahun.

“DBH itu bukan kado Santa Claus dari pusat. Itu hak daerah. Kaltim menanggung beban ekologi, sementara manfaat ekonominya banyak mengalir keluar,” tegasnya.

Ia mengingatkan, ketika ekologi rusak dan diabaikan, maka ekonomi pasti ikut rusak, bahkan lumpuh.

“Kita sudah belajar dari Aceh dan wilayah-wilayah di Sumatra. Lingkungan rusak, ekonomi hancur. Jangan ulangi kesalahan itu di Kalimantan Timur,” katanya.

Kritik Purwadi tak berhenti pada persoalan BTT dan DBH. Ia juga menyoroti arah kebijakan efisiensi anggaran yang disebut-sebut akan menyasar tenaga kerja outsourcing di lingkungan Pemprov Kaltim.

Menurutnya, langkah tersebut keliru dan berpotensi menimbulkan masalah sosial baru.

“Tenaga outsourcing itu hidupnya setengah hidup setengah mati. Kalau dipangkas, mereka langsung menganggur. Jangan korbankan rakyat kecil hanya karena APBD turun,” katanya.

Ia menilai, persoalan efisiensi bukan terletak pada jumlah tenaga outsourcing, melainkan pada belanja pemerintah yang masih sarat pemborosan.

“Pangkas saja belanja yang tidak penting. Korden baru, pagar, kendaraan dinas baru. Tiap ganti pejabat TV baru lagi, yang lama dibawa. Itu pemborosan,” ujarnya.

Purwadi juga menyinggung problem struktural sistem outsourcing yang selama ini merugikan pekerja. Banyak tenaga outsourcing disebut menerima upah minim akibat potongan dari perusahaan penyedia jasa, bahkan tidak mendapatkan jaminan sosial secara layak.

“BPJS saja belum tentu mereka dapat. Jangan tambah tekanan dengan pemangkasan tenaga kerja,” tegasnya.

Selain itu, ia mempertanyakan transparansi sejumlah belanja pegawai dan belanja barang, termasuk tunjangan kinerja.

“TPP di BKD indikatornya tidak jelas, porsinya besar dan tidak dipotong. Efisiensi malah diarahkan ke bawah. Ini bisa dicurigai sebagai manipolitik,” ungkapnya.

Kritik juga diarahkan pada pengadaan videotron yang dinilai boros dan minim manfaat publik.

“Videotron itu tidak efektif. Di mobil saja ada larangan menonton. Kalau dipasang besar-besaran di jalan, malah bikin macet dan rawan kecelakaan. Jangan sampai kita mati-matian memperjuangkan DBH ke pusat, tapi anggarannya dihamburkan,” kritiknya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kaltim Sri Wahyuni menyatakan evaluasi tenaga outsourcing sulit dihindari karena skema kerja mereka berbasis kontrak kegiatan.

“Jika kegiatan berkurang karena anggaran menurun, otomatis jumlah personel juga menyesuaikan,” jelasnya.

Namun bagi Purwadi, pemerintah daerah tetap wajib menghitung dampak sosial dan ekologis dari setiap kebijakan efisiensi.

“Jangan sampai membunuh dapur mereka. Efisiensi itu perlu, tapi jangan diarahkan ke rakyat kecil. Pangkas belanja yang tidak perlu,” pungkasnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *