TemanKita.com — Hujan yang turun hampir setiap hari menjadi pemandangan umum di bulan Desember bagi warga Samarinda dan sejumlah daerah di Kalimantan Timur. Langit mendung, intensitas hujan yang meningkat, serta suhu udara yang lebih sejuk menandai kuatnya musim penghujan di penghujung tahun.
Di Samarinda, hujan dengan durasi cukup panjang kerap menyebabkan genangan di sejumlah titik rawan, terutama di kawasan permukiman padat dan jalur utama kota. Kondisi ini membuat aktivitas warga, khususnya pada jam berangkat dan pulang kerja, perlu menyesuaikan dengan situasi cuaca.
Selain genangan, warga yang bermukim di bantaran Sungai Mahakam juga diimbau meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi kenaikan debit air. Curah hujan yang tinggi di wilayah hulu berpengaruh langsung terhadap kondisi sungai dan daerah sekitarnya.
Di balik hujan Desember, tersimpan pula makna yang lebih dalam. Lagu Desember dari Efek Rumah Kaca kerap hadir sebagai pengingat kolektif tentang tragedi banjir besar Jakarta tahun 1999. Dengan lirik yang puitis dan reflektif, lagu tersebut menjadi doa bagi para korban bencana, sekaligus pesan agar manusia tetap tegar menghadapi cobaan hidup.
Sebagaimana karya Efek Rumah Kaca lainnya, kisah pilu tersebut tidak disampaikan secara gamblang, melainkan dikemas dalam bahasa yang lembut dan penuh makna. Pendengar diajak merenungkan hubungan manusia dengan alam tanpa merasa digurui.
Alumni Mapala Greempanks, Budi Ariadi, menyebut hujan Desember seharusnya menjadi alarm lingkungan, terutama bagi daerah dengan ekosistem sungai dan hutan yang kuat seperti Kalimantan Timur. Menurutnya, Mapala sejak lama mengajarkan nilai dasar menjaga keseimbangan alam melalui kegiatan lapangan, konservasi, dan advokasi lingkungan.
“Di Mapala kami diajarkan bahwa alam bukan objek yang bisa dieksploitasi tanpa batas. Ketika banjir terjadi, itu bukan sekadar bencana, tapi akibat dari akumulasi kerusakan yang lama diabaikan,” kata Budi.
Ia menjelaskan, aktivisme Mapala tidak hanya sebatas pendakian gunung atau ekspedisi alam bebas, tetapi juga mencakup edukasi lingkungan, kampanye pelestarian daerah aliran sungai, hingga advokasi tata ruang yang berkelanjutan. Nilai-nilai tersebut, menurutnya, relevan dengan kondisi Samarinda dan Kaltim yang menghadapi tekanan alih fungsi lahan dan degradasi hutan.
Pesan itu sejalan dengan makna lagu Desember yang menyampaikan kritik halus terhadap relasi manusia dan alam. Kerusakan lingkungan, jika terus dibiarkan, berpotensi memicu bencana hidrometeorologi yang berulang.
Meski demikian, hujan tetap membawa berkah bagi ketersediaan air dan sektor pertanian di sejumlah wilayah Kaltim. Pemerintah daerah dan komunitas lingkungan terus mengingatkan pentingnya menjaga drainase, kawasan resapan air, serta kesadaran kolektif dalam merawat lingkungan.
Di tengah rintik hujan Desember, masyarakat Samarinda dan Kalimantan Timur diajak untuk tidak hanya bersiap menghadapi musim hujan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa menjaga alam adalah bagian dari tanggung jawab bersama, demi mencegah tragedi serupa terulang di masa depan.













Leave a Reply