Temankita.com, Samarinda– Harga Bitcoin (BTC) kembali berguncang hebat setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan perang dagang baru terhadap Tiongkok dengan tarif impor tambahan sebesar 100 persen. Dampaknya, harga kripto terbesar di dunia itu anjlok hingga ke level terendah sejak Juni 2025.
Pada perdagangan Sabtu (11/10/2025), harga Bitcoin sempat jatuh ke posisi US$104.782,88 per koin atau sekitar Rp1,73 miliar, turun drastis dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya di level US$114.390,64 per koin (Rp1,89 miliar). Artinya, dalam sehari, investor kehilangan nilai sekitar Rp158,96 juta per koin.
Hingga pukul 11.42 WIB, Bitcoin masih berada di level US$112.102,97 per koin, terkoreksi 2 persen dalam perdagangan intraday.
Dalam sepekan terakhir, kripto berkapitalisasi pasar terbesar itu sudah merosot 11,91 persen, dengan volume perdagangan harian mencapai US$94 miliar atau sekitar 35 persen dari total volume pasar kripto global. Sepanjang tujuh hari terakhir, Bitcoin bergerak di rentang harga US$103.893 hingga US$126.185 per koin.
Dampak Langsung Perang Dagang AS–China
Kejatuhan tajam Bitcoin ini dipicu oleh langkah mengejutkan Donald Trump yang kembali menaikkan tarif impor terhadap barang-barang dari China hingga 100 persen, di atas tarif 30 persen yang telah berlaku.
“Amerika Serikat akan mengenakan tarif 100 persen untuk China, di atas tarif apa pun yang saat ini mereka bayarkan,” tulis Trump di platform Truth Social, Jumat sore waktu setempat.
Kebijakan itu akan mulai berlaku pada 1 November 2025 atau lebih cepat, bersamaan dengan pemberlakuan kontrol ekspor untuk semua perangkat lunak penting.
Langkah ini disebut sebagai eskalasi terbesar sejak gencatan senjata dagang antara Washington dan Beijing beberapa bulan terakhir.
China Balas dengan Kontrol Ekspor Logam Tanah Jarang
Kebijakan baru Trump tersebut merupakan respons terhadap keputusan China yang memperketat kontrol ekspor logam tanah jarang, bahan penting dalam pembuatan barang elektronik seperti mobil listrik, smartphone, dan chip semikonduktor.
China saat ini menguasai sebagian besar produksi global logam tanah jarang, sehingga setiap pembatasan dari Beijing bisa mengguncang rantai pasok industri teknologi dunia.
Beberapa perusahaan besar AS seperti Ford bahkan dilaporkan sempat menghentikan sementara produksinya karena kekurangan pasokan bahan baku penting ini.
Selain itu, otoritas China juga tengah melakukan penyelidikan monopoli terhadap Qualcomm, raksasa teknologi asal AS, yang dapat memperlambat akuisisi perusahaan pembuat cip lainnya.
Investor Panik, Pasar Kripto Bergejolak
Eskalasi perang dagang ini memicu kepanikan di pasar finansial global, termasuk pasar aset digital. Investor beralih dari aset berisiko seperti kripto menuju aset lindung nilai seperti emas, yang harganya justru naik 0,5 persen menjadi US$3.876,55 per ounce.
Analis menilai, jika ketegangan AS–China terus meningkat, volatilitas di pasar kripto bisa semakin tajam.
“Setiap kali ketegangan geopolitik meningkat, Bitcoin justru kehilangan daya tariknya sebagai aset pelindung nilai, karena investor memilih instrumen yang lebih aman,” tulis analis Standard Chartered, Geoff Kendrick, dalam catatannya.
Kendrick memperkirakan, meski Bitcoin tengah tertekan, potensi rebound tetap terbuka jika situasi global stabil kembali. Namun untuk saat ini, Bitcoin masih berisiko jatuh lebih dalam sebelum menemukan titik balik baru.(Ar)
Leave a Reply