Ketua Aceh Samarinda Tanggapi Pernyataan Benny K. Harman: “Aceh Bukan Daerah Manja, Jangan Remehkan MoU Helsinki”

TemanKita.com – Pernyataan Anggota Komisi III DPR RI, Benny K. Harman, yang menyinggung dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh serta menyebut Aceh tidak perlu terus “membawa nama Helsinki”, mendapat respon tegas dari Ketua Aceh Samarinda, Fahrizal. Ia menilai pernyataan tersebut berpotensi menyinggung martabat rakyat Aceh dan mengabaikan sejarah panjang perjalanan perdamaian.

Menurut Fahrizal, narasi yang seolah menempatkan Aceh sebagai “daerah manja” adalah keliru dan menyesatkan. “Kalau saya dengar dari pernyataan itu, seakan-akan Aceh ini daerah manja, ibarat makan harus disuapi terus. Padahal Aceh memiliki sumber daya alam sendiri dan sejarah kontribusi besar untuk Republik ini,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa MoU Helsinki bukan sekadar perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM, melainkan pondasi utama perdamaian Aceh yang melahirkan keistimewaan Aceh dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Jangan diremehkan. MoU itu yang mengakhiri puluhan tahun konflik dan mengembalikan Aceh ke pangkuan NKRI,” tambahnya.

Fahrizal juga menyoroti pernyataan terkait dana Otsus. Ia menegaskan bahwa angka Rp10 triliun yang disebut pusat bukan apa-apa jika dibandingkan nilai kekayaan alam Aceh yang selama puluhan tahun memberi pemasukan besar bagi negara, mulai dari minyak bumi, emas, hingga tambang lainnya.

“Banyak yang menjadi korban selama konflik, dan banyak pula kekayaan Aceh yang sudah diambil pusat. Jika sekarang Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera—seperti data BPS 2025—maka pertanyaannya bukan hanya untuk Aceh, tetapi juga untuk pemerintah pusat. Ke mana hasil kekayaan Aceh selama ini?” tegasnya.

Fahrizal mengingatkan kembali bahwa Aceh memiliki kontribusi bersejarah yang tak bisa dilupakan. Salah satunya adalah penggalangan dana rakyat Aceh untuk membeli dua pesawat Dakota RI-001 Seulawah dan RI-002, yang menjadi modal awal transportasi udara Republik Indonesia.

“Kontribusi rakyat Aceh jelas dan konkret sejak awal kemerdekaan. Aceh bukan daerah beban, apalagi manja,” katanya.

Ia juga menyinggung bahwa konflik Aceh dahulu salah satunya dipicu ketidakadilan dalam pembagian kekayaan sumber daya alam. Karena itu ia menilai penting bagi pejabat pusat berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, agar tidak memicu sentimen negatif yang dapat mengganggu perdamaian yang telah susah payah dibangun.

“Rakyat Aceh jangan terpancing. Kita ini bangsa yang kuat, mandiri, dan punya semangat juang tinggi. Tidak ada kata manja bagi rakyat Aceh,” tutupnya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *